Nasional – Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Rudi Suparmono menjalani sidang perdana kasus dugaan suap terkait vonis bebas terpidana Ronald Tannur di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (19/5/2025).
Sidang perdana digelar berdasarkan penetapan majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor: 51/Pid.Sus-TPK/2025/PN Jkt.Pst tertanggal 7 Mei 2025. “Bahwa benar… telah menetapkan hari sidang untuk terdakwa Rudi Suparmono, dengan agenda pembacaan surat dakwaan,” ujar Kapuspenkum Kejaksaan Agung Harli Siregar.
Sidang dipimpin hakim Iwan Irawan sebagai ketua, dan hakim Sri Hartati serta Andi Saputra sebagai anggota, di ruang sidang Wirjono Projodikoro 2.
Rudi Suparmono diduga menerima suap agar dapat mengatur majelis hakim yang akan menyidangkan kasus Ronald Tannur, tersangka pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar penunjukan hakim kasus vonis bebas Ronald Tannur terjadi setelah pertemuan Rudi dengan kuasa hukum Ronald, Lisa Rahmat, pada 4 Maret 2024.
Dalam pertemuan itu, Lisa disebut meminta agar Rudi menunjuk hakim tertentu untuk menangani perkara Ronald. “RS kemudian menjawab bahwa hakim yang akan menyidangkan perkara Ronald Tannur adalah ED, M, dan H,” jelas Qohar.
Tak hanya menentukan nama hakim, Rudi juga disebut menetapkan Erintuah Damanik sebagai ketua majelis. Penunjukan dilakukan secara informal.
“Saya tunjuk Lae sebagai ketua majelis, anggotanya Mangapul dan Heru atas permintaan Lisa,” ucap Rudi kepada Erintuah, seperti dituturkan Qohar.
Ketiga hakim tersebut, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo kini juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Rudi Suparmono diduga menerima uang suap senilai 63.000 Dolar Singapura atau sekitar Rp 752.991.750 sebelum dipindahkan ke PN Jakarta Pusat. Uang itu diberikan oleh Lisa Rahmat sebagai bentuk “ucapan terima kasih” atas pengaturan vonis bebas Ronald Tannur.
Atas perbuatannya terkait vonis bebas Ronald Tannur, Rudi dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta KUHP.