Kesehatan – Sebuah studi terbaru mengungkap bahwa risiko seseorang mengalami demensia dalam hidupnya bisa jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.
Penelitian terhadap sampel besar warga Amerika selama lebih dari tiga dekade menemukan bahwa rata-rata kemungkinan seseorang mengidap demensia pada usia 55-95 tahun mencapai 42 persen. Angka ini bahkan lebih tinggi pada perempuan, orang kulit hitam, dan individu dengan risiko genetik tertentu.
Dua profesor dari Penn State Center for Healthy Aging, Jennifer E. Graham-Engeland dan Martin J. Sliwinski, menyampaikan bahwa ada satu faktor penting yang kerap luput sebagai faktor risiko demensia, yaitu stres kronis.
Melansir ScienceAlert pada Minggu (29/5/2025), Graham-Engeland dan Sliwinski menemukan bahwa stres yang intens, berlangsung lama, dan terus-menerus dapat mempercepat penurunan fungsi kognitif seseorang.
Respons psikologis, perilaku, dan biologis terhadap stres saling berkaitan dan saling memperkuat, yang kemudian mempengaruhi fungsi otak, suasana hati, dan kemampuan mempertahankan kebiasaan hidup sehat.
“Stres yang relatif kronis paling konsisten dikaitkan dengan kesehatan yang lebih buruk,” tulis Graham-Engeland dan Sliwinski.
Mereka mencontohkan bahwa hidup sendiri bisa menjadi sumber stres, terutama bagi lansia, karena isolasi sosial menyulitkan penerapan gaya hidup sehat serta mendeteksi dan menangani penurunan kognitif secara dini.
Selain itu, stres juga bisa berdampak pada kualitas tidur dan kebiasaan sehat lainnya, seperti olahraga dan pola makan, yang jika terganggu akan memperburuk kemampuan mengatasi stres itu sendiri.
Saat ini, setidaknya ada 14 faktor yang diketahui berkaitan dengan risiko Alzheimer dan bentuk demensia lainnya. Sebagian faktor ini tidak dapat dikendalikan, seperti diabetes atau depresi.
Namun banyak faktor yang bisa diubah, seperti aktivitas fisik, pola makan sehat, dan keterlibatan sosial. “Yang kurang diakui adalah bahwa stres kronis sangat terkait dengan semua faktor ini,” tulis mereka.
Sayangnya, upaya pencegahan demensia jarang memasukkan manajemen stres sebagai komponen utama. Padahal, bagi masyarakat dengan pendapatan rendah atau tinggal di lingkungan kurang mendukung, paparan stres lebih besar dan dukungan sosial lebih terbatas.
Cara mencegah demensia dengan pengelolaan stres
Menurut penulis, ada berbagai cara untuk memperlambat atau mencegah demensia, dan efektivitasnya bisa meningkat, jika faktor stres juga diperhitungkan.
Mereka menyarankan beberapa langkah praktis berikut:
- Mengikuti gaya hidup sehat, seperti makan bergizi, aktif secara fisik, dan tidur cukup;
- Mengutamakan kesehatan mental dan kesejahteraan emosional, seperti mengungkapkan kekhawatiran, meminta dukungan dari orang terdekat, dan rutin keluar rumah;
- Jika dokter menyarankan pengobatan baru atau mendeteksi gejala gangguan kognitif, penting untuk bertanya tentang saran mengelola stres yang berkaitan;
- Mengurangi isolasi sosial, misalnya penelitian menunjukkan bahwa menambah satu interaksi sosial setiap hari, bahkan hanya lewat pesan singkat atau obrolan singkat dengan orang asing bisa membantu mengatasi stres.
- Studi lain pada 2025 mencatat bahwa stres merupakan salah satu dari 17 faktor yang mempengaruhi risiko penyakit otak, termasuk stroke, depresi pada usia lanjut, dan demensia.
Intervensi berbasis komunitas dan tempat kerja dinilai berpotensi menurunkan risiko demensia dalam jangka panjang.
“Meskipun penelitian mengenai pengobatan biomedis terus berlangsung, saat ini belum ada obat untuk penyakit Alzheimer,” tulis Graham-Engeland dan Sliwinski.
“Namun, jika intervensi yang bertujuan mengurangi stres dijadikan prioritas dalam panduan pencegahan demensia, manfaatnya bisa sangat luas: menunda munculnya penyakit dan meningkatkan kualitas hidup jutaan orang,” imbuh mereka.