Nasional – Kejaksaan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) menahan empat orang terkait dugaan korupsi penyaluran kredit usaha mikro di salah satu bank pada periode 2023–2024.
Penahanan dilakukan setelah penyidik pidana khusus menemukan rangkaian bukti yang menguatkan adanya rekayasa dan penyimpangan dalam proses pengajuan hingga pencairan kredit.
Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak, Agus Eko Purnomo, mengatakan penahanan terhadap para tersangka dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan sekaligus mencegah mereka melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
“Kami melihat ada rangkaian tindakan terstruktur dalam penyaluran kredit yang tidak semestinya. Penahanan diperlukan untuk kepentingan penyidikan,” kata Agus dalam keterangan tertulis, Rabu (26/11/2025).
Keempat tersangka itu adalah MFV dan CJ, masing-masing mantri bank yang bertugas pada 2023–2024, serta dua calo, RMN dan MNS, yang diduga menjadi penghubung antara para debitur dan oknum bank.
Mereka ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Negeri Pontianak selama 20 hari, mulai 26 November hingga 15 Desember 2025.
Penyidik menduga para tersangka itu terlibat dalam pengajuan kredit terhadap 59 debitur yang belakangan berstatus macet.
Para debitur ini disebut tidak sepenuhnya memenuhi syarat, namun tetap memperoleh pencairan kredit karena proses pengajuan dibantu para calo. Modus percaloan ini dilakukan secara sistematis.
Calo mengumpulkan data calon debitur, sementara dua mantri bank diduga memanipulasi kelengkapan administrasi sehingga pengajuan kredit dapat disetujui tanpa proses verifikasi sesuai standar operasional bank.
Dalam mekanisme normal, verifikasi dilakukan berlapis. Namun, dalam kasus ini terdapat indikasi kuat bahwa proses itu dipotong dan direkayasa.
Indikasi fraud pertama kali mencuat dari laporan hasil pemeriksaan unit audit internal bank pada 8 Juli 2024. Laporan itu mengungkap adanya ketidakwajaran data serta pola kesamaan dokumen dalam sejumlah pengajuan kredit.
Audit internal kemudian menetapkan potensi kerugian negara atau perekonomian sebesar Rp 2,39 miliar. Nilai kerugian itu muncul setelah 59 debitur dinyatakan gagal bayar dalam periode penyaluran kredit.
Penyidik menduga pencairan kredit dilakukan tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar, dan sebagian debitur bahkan disebut tidak mengetahui bahwa namanya digunakan untuk pengajuan pinjaman.
