Berita Bola – Kekalahan 0-3 Liverpool dari Nottingham Forest di Anfield akhir pekan lalu jelas meninggalkan rasa pahit. Bukan cuma untuk para pemain dan suporter, tapi juga untuk para pemilik klub yang mungkin mulai menarik napas panjang melihat situasi yang makin runyam. Fenway Sports Group, yang sering dicap terlalu hemat—meski tak sepenuhnya benar, tampaknya kini merindukan masa ketika Liverpool bisa tampil menggigit meski belanjanya biasa saja.
Musim ini malah berbalik arah. Belanja besar sudah dilakukan, tapi hasilnya? Jauh dari memuaskan. Para pemain baru tampil angin-anginan, rotasi terasa tak stabil, dan performa tim justru makin menurun. Florian Wirtz absen saat kalah dari Forest, sehingga perbincangan soal mahalnya harga sang gelandang kembali mereda. Tapi Alexander Isak justru jadi bahan omongan utama meski bukan dalam arti positif.
Di salah satu malam paling buruk Liverpool era Arne Slot di Anfield, masih ada orang-orang yang percaya Isak hanya butuh waktu. Pertanyaannya, sampai kapan? Musim semi 2026? Atau malah menunggu sampai musim depan?
Yang jelas, kontribusi Isak sejauh ini jauh dari ekspektasi. Dengan banderol 125 juta paun, wajar kalau fans menunggu sesuatu yang spektakuler. Namun, satu gol Premier League sebelum Natal saja belum datang. Sprint, pressing, merebut bola hal-hal sederhana pun masih minim terlihat.
Lebih parah lagi, dalam 68 menit saat menghadapi Forest, Isak tidak melepas tembakan tepat sasaran, tidak menang duel, tidak menciptakan peluang, dan tidak melakukan tekel. Liverpool dulu punya lini depan pekerja keras, sekarang justru Isak terlihat seperti “penjaga jas rapi” alih-alih ujung tombak explosif.
Ironisnya, Darwin Nunez yang dulu habis-habisan dikritik sebenarnya tampil jauh lebih mengancam. Meski sering salah langkah, setidaknya Nunez selalu memberikan tekanan. Sementara Isak? Nyaris tak terasa kehadirannya sampai akhirnya diganti.
Penurunan performa ini bukan cuma soal Isak atau Wirtz. Hampir seluruh elemen permainan Liverpool turun drastis dibanding musim lalu. Absennya beberapa pemain penting dan lemahnya hubungan antar lini jadi faktor yang ikut memengaruhi. Masalahnya, alih-alih tenang, tim justru terlihat panik ketika hal buruk terjadi.
Virgil van Dijk secara jujur mengakui bahwa tim berada dalam kondisi kacau. Dari enam laga terakhir, Liverpool kalah lima. Setelah kebobolan dari bola mati lawan Forest, permainan langsung goyah, dan pola kesalahan semacam ini terus berulang.
Slot pun ikut terkena getahnya. Rekrutan baru belum tampil sesuai harapan, permainan kolektif berantakan, dan para pemain sendiri mengakui bahwa mereka telah mengecewakan pelatih. Van Dijk pun menegaskan semua pemain harus bertanggung jawab dan “jadi laki-laki” untuk membalikkan keadaan.
Satu hal yang pasti: kekalahan 0-3 di Anfield bukan sesuatu yang bisa dianggap biasa. Jika Liverpool tak segera bangkit, tekanan dari atas hingga bawah hanya akan semakin besar.
