Nasional – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengungkap hasil uji laboratorium terhadap makanan bergizi gratis (MBG) yang disajikan di SDN Sidomekar 05 Kecamatan Semboro, menyusul dugaan keracunan makanan yang menimpa 16 siswa pada 26 September 2025 lalu.
Dari hasil investigasi dan uji lab, indikasi keracunan paling kuat berasal dari konsumsi selada dan timun dalam menu MBG.
Hasil ini disampaikan langsung oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, dr Rita Wahyuningsih dalam pertemuan bersama Komnas HAM di Kantor Bupati Jember, Sabtu (4/10/2025).
“Tidak ditemukan laporan demam dan diare yang menonjol sehingga pola gejala tersebut mengarah kepada ke arah keracunan akut saluran cerna,” ungkap Rita.
Dari 98 siswa yang mengonsumsi MBG, menurutnya sebanyak 37 siswa mengalami gejala mual, nyeri perut, dan muntah.
“Berdasarkan analisa data epidemiologis, selada dan timun merupakan makanan yang paling kuat dikaitkan dengan dugaan kejadian keracunan,” tegas Rita.
Sebelumnya, beberapa siswa bahkan berteriak karena menemukan belatung dalam makanan, yang makin memperkuat dugaan adanya kontaminasi.
Menu MBG saat itu terdiri dari roti tawar, telur rebus goreng, selada, timun, mayonaise, saus saset, keju parut, susu UHT kemasan, dan mendol tempe.
Tim Dinkes melakukan klarifikasi langsung ke dapur SPPG (Satuan Pendidikan Penyelenggara Gizi) yang menangani makanan tersebut. Sampel makanan dibawa ke Labkesmas Provinsi Jawa Timur untuk dianalisis.
“Kami datang ke dapur SPPG itu dan kita melakukan klarifikasi dengan tim yang ada di sana (termasuk ahli gizi),” jelas Rita.
Hasil perhitungan attack rate dan risiko relatif menunjukkan bahwa sayuran mentah seperti timun dan selada memiliki risiko tertinggi.
“Dengan mempertimbangkan onset yang cepat yaitu 10 sampai 15 menit, dugaan penyebab paling mungkin adalah akibat paparan bahan kimia atau ada residu pestisida atau deterjen pada sayuran mentah,” tambahnya.
Plt Kepala Dinkes Jember, Akhmad Helmi Lukman, menyampaikan bahwa kemungkinan besar pencucian sayuran kurang optimal, sehingga masih mengandung residu bahan kimia berbahaya.
“Ya paling tidak kita mengajari mereka bagaimana cara membersihkan, mengurangi residu pestisida, cara menyucinya bagaimana,” jelas Helmi.
Ia menegaskan bahwa pengolahan sayuran sebaiknya dilakukan terakhir agar tidak cepat layu atau rusak, serta memastikan kebersihan tetap terjaga sebelum disajikan kepada siswa.