Nasional – Di balik semangat pemerintah menyediakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi pelajar, sejumlah orangtua di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, justru diliputi rasa cemas. Kekhawatiran itu muncul setelah maraknya kasus keracunan yang diduga berasal dari makanan program tersebut.
Terbaru, pada Kamis (22/9/2025), sebanyak 842 siswa Kabupaten Bandung Barat mengalami keracunan massal dalam kurun waktu tiga hari. Sebelumnya, lebih dari 600 siswa di Kabupaten Garut juga mengalami hal serupa. Sedangkan di Kabupaten Bandung, 12 siswa SDN Legokhayam, Kecamatan Cilengkrang, ikut keracunan usai mengonsumsi MBG.
Parni (42), orangtua siswa SD di Kecamatan Ciparay, mengaku waswas setiap kali anaknya membawa pulang makanan MBG. Sejak program itu digulirkan, pihak sekolah meminta siswa membawa peralatan makan sendiri untuk memindahkan makanan ke wadah masing-masing.
“Saya bilang, bawa pulang dulu biar ibu cek. Kadang nasi sudah kering, lauknya pun seperti sudah lama dimasak, jadi gimana sih makanan dimasak pagi dan dimakan siang atau sore,” ucap Parni saat dihubungi via telepon, Kamis (25/9/2025).
Selain itu, ia kerap mendengar dapur pengolahan MBG di daerahnya jauh dari higienis. Meski belum pernah melihat langsung, rasa waswas kerap menyelimutinya.
“Ya bisa dibayangin kalau enggak steril gitu dapurnya, mungkin itu juga yang buat kita (orangtua) khawatir,” katanya.
Parni berharap ada mekanisme pengawasan rutin, termasuk keterlibatan orangtua dalam memantau kualitas makanan.
“Kalau bisa, dapurnya terbuka, orangtua boleh ikut melihat proses masak. Jadi kita bisa tenang,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan Yayan (47), ayah dari siswa SMP di Kecamatan Bojongsoang. Ia menilai program MBG seharusnya jadi solusi gizi anak sekolah, tetapi justru menimbulkan masalah baru.
“Anak saya pernah sakit perut setelah makan ayam suwir MBG. Alhamdulilahnya, mungkin anak saya daya tahan tubuhnya kuat jadi hanya diare biasa, kalau sampai makanannya bermasalah, gimana bisa makanan itu terus dibagikan,” ucap Yayan.
Tak sedikit orangtua di sekolah anaknya yang memilih memberi arahan agar makanan MBG dibawa pulang dulu.
“Lebih baik dibungkus, dibawa pulang, nanti dicek dulu. Kalau aman baru dimakan. Kalau tidak layak, ya dibuang. Sayang sih, tapi keselamatan lebih penting,” katanya.
Sementara itu, Rohani (39), ibu dari siswa SMA di Kecamatan Rancaekek, mengaku sering ragu dengan bahan yang digunakan penyedia MBG.
“Saya ragu, kadang sayurnya kelihatan layu, nasinya kering, lauknya juga. Kalau untuk anak-anak, seharusnya pakai bahan segar,” ucap Rohani.
Menurutnya, program MBG bagus secara konsep. Namun tanpa pengawasan ketat, manfaatnya tidak akan maksimal.
