Nasional – Pemerintah Provinsi Bali mengalokasikan anggaran sebesar Rp 56,3 miliar untuk pengembangan transportasi publik Trans Metro Dewata yang akan berlaku pada tahun depan.
Pengumuman tersebut disampaikan Gubernur Bali, I Wayan Koster, dalam konferensi pers di Denpasar pada Kamis (4/9/2025).
Koster menjelaskan bahwa pembiayaan untuk proyek ini tidak sepenuhnya ditanggung Pemerintah Provinsi Bali. Sebagian dana akan berasal dari pendanaan Kota Denpasar dan tiga kabupaten lainnya.
Pemerintah Provinsi Bali menyediakan 30 persen atau setara dengan Rp 16,9 miliar, sementara 70 persen sisanya, yaitu Rp 39,4 miliar, akan dibiayai pemerintah kabupaten/kota.
“Anggaran untuk Kabupaten Badung sebesar Rp 16,6 miliar, Denpasar Rp 15,8 miliar, Gianyar Rp 5,3 miliar dan Tabanan Rp 1,6 miliar,” ungkap Koster.
Pembagian anggaran antarkabupaten/kota ini disesuaikan dengan panjang lintasan dan proporsional layanan Trans Metro Dewata di masing-masing wilayah.
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Provinsi Bali dan Kota Denpasar serta Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Tabanan.
“Penandatanganan kerja sama ini dilakukan supaya dalam menyusun APBD 2026 ada payung hukumnya,” ujar Koster.
Meskipun kesepakatan telah ditandatangani, Koster menegaskan bahwa itu baru merupakan pagu anggaran. Realisasi anggaran tersebut masih menunggu hasil evaluasi dari tim terkait.
Selama tahun 2025, operasional transportasi publik Trans Metro Dewata direncanakan berjalan dari bulan April hingga Desember. Pada tahun 2026, diharapkan layanan dapat beroperasi selama satu tahun penuh.
“Kalau kita lihat maksimum keterisian Trans Metro Dewata, hanya 37 persen. Padahal menurut kriteria Bank Dunia, rata-rata harus 50 sampai 60 persen. Jadi masih rendah sekali. Kita akan evaluasi faktor dan penyebabnya,” ungkap Koster.
Dia juga menyampaikan tantangan dalam mengedukasi masyarakat Bali untuk beralih ke transportasi publik. Koster mengakui bahwa jalur jalan di Bali yang pendek dan sempit menjadi kendala.
“Kita tidak bisa cepat-cepat menyadarkan masyarakat. Tidak mudah, apalagi di Bali jalur jalannya pendek dan sempit. Masyarakat banyak yang lebih suka menggunakan sepeda motor,” ujarnya.