Nasional – Seorang pemuda bernama Suhendri alias Hendri membagikan pengalaman kelamnya menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar. Ia disekap dan disiksa selama delapan bulan, dari Juli 2024 hingga Maret 2025.
Hendri mengaku awal mula dirinya terjebak dalam kasus TPPO saat diajak sahabatnya, Rizki, untuk bekerja di Thailand. Tanpa curiga, Hendri menerima tawaran itu. Rizki bahkan mengatur seluruh keberangkatan, termasuk tiket pesawat dan visa.
Pada 11 Juli 2024, Hendri berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, dan tiba di Thailand keesokan harinya. Di sana, ia bertemu Rizki dan dua warga negara India yang disebut memiliki tujuan yang sama.
Hendri dan dua WNA India kemudian menginap di hotel sebelum dijemput keesokan harinya oleh sebuah bus. Rizki tidak ikut dalam perjalanan itu dan beralasan akan menyusul. Namun, sejak saat itu, Hendri tak pernah melihat Rizki lagi.
Perjalanan membawa mereka ke daerah pelosok yang dihuni warga negara Myanmar. Hendri mengaku sempat menyeberangi sungai sebelum akhirnya ditodong senjata oleh tiga orang, termasuk sopir kendaraan yang mereka tumpangi.
“Kami nyeberang sungai, dan setibanya di seberang langsung ditodong senjata,” kata Hendri, Selasa, 8 April.
Mereka kemudian dibawa ke sebuah perusahaan yang terletak di wilayah Myawaddy, Myanmar. Area itu dijaga ketat oleh tentara berpakaian seragam, yang diduga merupakan kelompok separatis.
Di lokasi itu, Hendri dipisahkan dan dibawa ke sebuah rumah oleh pria bertubuh tegap. Rumah tersebut ternyata digunakan sebagai penjara untuk para korban TPPO yang dianggap membangkang, karena menolak diperbudak sebagai penipu online.
“Waktu saya masuk ke dalam, ada sekitar delapan orang dari berbagai negara. Tempatnya seperti toilet-toilet kumuh di terminal,” ungkapnya.
Hendri menggambarkan kondisi tempat tersebut sangat mengenaskan. Ia sempat dikurung di dalam toilet, lalu diikat, dirantai, dan dipukuli dengan pipa besi hingga tubuhnya lebam.
“Saya diikat, kaki dirantai, jinjit tidak bisa menapak, lalu dipukul pakai pipa besi dari dada sampai kaki,” ucapnya.
Setiap sore, para tahanan diberi akses telepon. Namun bukan untuk kebebasan, melainkan untuk memeras keluarga mereka.
“Saya dipaksa minta uang ke keluarga. Kalau tidak, saya dipukul pakai stik baseball, kayu, bahkan muka saya pernah ditutup plastik hingga hampir tak bisa bernapas, lalu dipukul 50 kali,” kata Hendri.
Ia mengaku harus mengirim uang demi mengurangi intensitas penyiksaan. Selama 35 hari ia berada di rumah penyekapan tersebut, dan total delapan bulan berada dalam kondisi mengenaskan.
Pada akhirnya, Hendri berhasil kabur saat pelaku penyekapan lengah. Ia segera mencari bantuan dan mengadu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Setelah melalui proses penyelamatan, Hendri akhirnya berhasil kembali ke Indonesia dan kini telah berkumpul kembali bersama keluarganya di Pesanggrahan, Jakarta Selatan.